إِنَّ الحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ
أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا ، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا
مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَعَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ ، أَمَّا بَعْدُ :
أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ عِبَادَ اللهِ : اِتَّقُوْا اللهَ
تَعَالَى فَإِنَّ تَقْوَاهُ خَيْرُ زَادٍ ، قَالَ اللهُ تَعَالَى :
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي
الْأَلْبَابِ [ البقرة : 197].
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. AL-Baqarah:
197).
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahih-nya, dari al-Khalifatu ar-Rasyid, Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan
mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang
hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau karena perempuan yang
ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tujukan.”
Hadits ini ditempatkan Imam Bukhari rahimahullah di beberapa halaman dalam kitab Shahih-nya dari jalur al-Qamah bin Waqqash al-Laitsi.
Riwayat pertama adalah sebagai berikut:
قاَلَ عَلْقَمَةُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : ” سَمِعْتُ
عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ يَقُوْلُ عَلَى المِنْبَرِ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : ((إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ.. ))
Al-Qamah rahimahullah berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab yang sedang berada di atas mimbar berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya…’”.
Di halaman lainnya haditsnya adalah sebagai berikut:
قَالَ عَلْقَمَةُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى : ” سَمِعْتُ
عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ يَخْطُبُ قَالَ : سَمِعْتُ النَبِيَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ((يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ..))
Al-Qamah rahimahullah berkata, “Aku mendengar Umar bin al-Khattab berkata, ‘Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya…’”.
Dua riwayat dari hadits yang mulia ini semuanya memiliki derajat shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah. Dan hadits ini adalah hadits yang sangat penting kedudukannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkannya di hadapan khalayak di atas mimbar beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau menyampaikan itu dalam rangka memperingatkan
umat dan agar umat sadar betapa mulianya kedudukan hadits ini. Kemudian
Khalifah Umar bin Khattab pun menyampaikannya di atas mimbar, mencontoh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar memperingatkan umat
akan pentingnya dan tingginya kedudukan niat. Dan senantiasa ada para
da’i, ulama, dan orang-orang yang shaleh memberikan nasihat kepada umat
dengan menyebutkan hadits ini di setiap kesempatan karena betapa
pentingnya hadits ini.
Kemudian ibadallah,
Imam Bukhari menempatkan hadits ini sebagai hadits pertama dalam
kitabnya. Jika kita membaca Shahih al-Imam al-Bukhari, maka akan kita
dapati hadits pertama yang membuka kitab beliau adalah hadits yang
diriwayatkan Umar bin Khattab ini (إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ).
Dan banyak para ulama yang melakukan hal serupa dengan yang dilakukan
oleh Imam al-Bukhari. Mereka memulai karya tulis mereka dengan hadit
ini, sebagai pengingat kepada umat bahwa substansi niat sangatlah
penting dan merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan dalam mempelajari
ilmu, beribadah, dll.
Mengapa? Karena amalan itu diukur dengan niatnya. Allah tidak akan
menganggap suatu shalat, puasa, haji, sedekah, dan segala bentuk
perbuatan baik, kecuali jika niatnya benar yaitu berharap wajah Allah Ta’ala.
Mari kita kaji sebagian demi sebagian dari hadits ini. Bagian pertama:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya.”
Suatu amalan akan dianggap oleh Allah Jalla wa ‘ala
berdsarkan niatnya. Apabila niat dari amalan tersebut ikhlas karena
Allah, maka ia akan diterima. Namun apabila niatnya tidak demikian, maka
ia kan ditolak. Walaupun amalan tersebut banyak, bevariasi, dan
beragama amalan. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا
مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا
مَذْمُومًا مَدْحُورًا * وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا
سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang
kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan
memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Isra: 18-19).
Firman-Nya yang lain,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ
وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Firman-Nya juga,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (QS. Az-Zumar: 3).
Dan masih banyak ayat-ayat yang semisal dengan ayat-ayat di atas.
Ayyuhal mukminun,
Karena itulah banyak nukilan dari para ulama yang menunjukkan
pemuliaan mereka terhadap hadts ini. Sampai-sampai Imam asy-Syafii dan
ulama lainnya mengatakan, “Hadits ini sama dengan sepertiga ilmu”. Dalam
kesempatan lainnya Imam asy-Syafii mengatakan, “Hadits ini mencakup 70
bab dari bab pembahasan fikih”. Yakni masuk dalam bab shalat, puasa,
sedekah, haji, dan berbagai amalan ketaatan lainnya. Yang kesemua amalan
itu dipandang berdasarkan niatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sebuah contoh dalam hadits ini, yang bisa dianalogikan dengan amalan ketaatan lainnya.
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
“Barangsiapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya”.
Jadi, bagi siapa yang niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
balasan dan pahalanya pun di sisi Allah dan bersama Rasul-Nya. Niat
yang benar akan berbuah pahala dan balasan dari Allah. Namun apabila
niatnya rusak, maka ia tertolak dan tidak diterima. Allah ‘Azza wa Jalla tidak menerima suatu amalan kecuali ikhlas berharap wajah-Nya Jalla wa ‘ala.
Terkait perkataan Imam asy-Syafii bahwa hadits ini adalah sepertiga
ilmu Islam senada dengan perkataan Imam Ahmad atau bahkan sebagai
penjelasnya. Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,
أصول الإسلام تدور على ثلاثة أحاديث حديث عمر :(( إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ)) ، وحديث أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها:
((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)) ، وحديث
النعمان ابن بشير ((إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ))
“Inti ajaran Islam tercakup dalam tiga hadits: (1) Hadits Umar ((
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ)) “Sesungguhnya amal itu tergantung
niatnya”, (2) Hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha ((مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ)) “Barangsiapa
yang mengamalkan suatu amalan (agama), yang bukan bagian dari kami, maka
ia tertolak, (3) Hadits Nu’man bin Basyir ((إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ
وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ “Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram itu jelas, dan di
antara keduanya terdapat hal yang masih samar”.
Maksudnya adalah agama Islam ini mencakup melaksanakan perintah,
menjauhi larangan, dan menjaga diri dari hal yang masih samar-samar.
Ketiga hal ini tercakup dalam hadits Nu’man. Dalam melaksanakan ketiga
hal ini, tidak akan sempurna kecuali dengan dua faktor pendukung.
Pertama, melaksanakan ketiga hal tersebut harus sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
secara praktek. Sebagaimana telah disampaikan dalam hadits Aisyah
((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ))
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan (agama), yang bukan bagian
dari kami, maka ia tertolak”. Dan amalan tersebut harus ikhlas secara
batinnya, hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang terkandung dalam hadits Umar (( إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ)) “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”.
Ayyuhal mukminun,
Alangkah butuhnya kita dengan benar dan baiknya niat kita, terus
memperbaiki maksud dan tujuan, dan senantiasa membersihkan semua niat
peribadatan kita. Dalam shalat, puasa, haji, dan seluruh amalan ketaatan
lainnya harus kita niatkan hanya untuk wajah Allah. Karena tidak ada
yang menyebabkan amalan kita diterima kecuali karena Allah semata.
Yakinlah wahai orang-orang yang beriman,
Amalan baikmu tidak akan turut serta ke dalam kuburmu kecuali amalan baik yang engkau niatnkan hanya berharap wajah Allah Ta’ala.
Adapun amalan ketaatan yang dilakukan seseorang karena ingin tenar,
atau ingin didengar orang lain, atau ingin dilihat orang lain, atau
karena menginginkan dunia yang fana, atau menginginkan kedudukan dan
jabatan, dan sejenisnya, semua itu tidak akan diterima di sisi Allah dan
tidak akan diridhai oleh-Nya. Karena salah satu syarat diterimanya amal
adalah ikhlas hanya untuk Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke
arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu
adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Isra:
19).
Ketahuilah wahai orang-orang yang beriman, alangkah butuhnya kita
senantiasa memperbaiki niat kita dalam setiap waktu dan kesempatan. Imam
Sufyan ats-Tauri rahimahullah mengatakan,
مَا عَالَجْتُ شَيْئاً أَشَدُّ عَلَيَّ مِنْ نِيَتِيْ
“Tidaklah ada suatu hal yang paling berat untuk aku perbaiki kecuali niatku.”
Yahya bin Abi Katsir mengatakan,
تَعَلَّمُوْا النِّيَّةَ ، فَإِنَّهَا أَبْلَغُ مِنَ العَمَلِ
“Pelajarilah niat, karena niat lebih penting dari amalan”.
Karena dengan niatlah amalan akan menjadi baik dan perkataan menjadi
benar. Dengan niat yang buruk, maka hilanglah keutamaan keduanya.
Ya Allah, kami memohon dengan nama-nama dan sifat-sifat-Mu bahwasanya
Engkaulah Yang Maha Esa, tiada sesembahan yang benar kecuali hanya
Engkau, ajarilah kami untuk ikhlas dalam perkataan dan perbuatan.
Jadikan niat kami hanya tulus untuk-Mu ya Allah. Jadikanlah amalan kami
adalah amalan yang tidak berharap sesuatu apapun kecuali perjumpaan
dengan-Mu.
أَقُوْلُ هَذَا القَوْلِ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي
وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ
يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ وَاسِعِ الفَضْلِ
وَالجُوْدِ وَالاِمْتِنَانِ , وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ , وَأَشْهَدُ أَنَّ محمداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْرًا
أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ فِي السِرِّ وَالعَلَانِيَةِ وَالْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ؛مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمْ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ.
أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا المُؤْمِنُوْنَ: اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ فِي السِرِّ وَالعَلَانِيَةِ وَالْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ؛مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمْ أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ.
Ayyuhal mukminun,
Di antara contoh profil dalam keikhlasan bisa kita jumpai dalam perjalanan hidup Rasul dan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh kehidupan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ikhlas mengharap perjumpaan dengan Allah Jalla wa ‘ala. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan haji wada’, saat beliau di miqat Dzi Hulaifah, beliau
mengenakan izar dan rida yang putih dan bersih lalu menunaikan haji
qiran. Di tempat itu beliau mengatakan,
اللَّهُمَّ حَجَّة لاَ رِيَاءَ فِيهَا وَلاَ سُمْعَةَ
“Ya Allah, (hamba mohon) haji yang tidak mengandung riya’ dan sum’ah.”
Demikianlah doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang
demikian sangat layak dicontoh oleh seorang muslim dalam setiap
amalannya. Hendaknya ia sertakan saat ia belajar menimba ilmu, shalat,
puasa, haji, dan amalan ketaatan yang lainnya, doa untuk memperbaiki
niat. Seorang muslim hendaknya senantiasa memperbaiki niatnya. Karena
niat senantiasa berbolak-balik dan berubah.
Hal-hal yang dapat merubah niat seseorang sangatlah banyak. Karena itu sangat dibutuhkan kesungguhan dalam menetapkannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh) untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69).
Oleh karena itu, bersungguh-sungguh memperbaiki niat agar ikhlas karena Allah diperintahkan sepanjang hidup kita.
Sesuatu yang menyedihkan, apa yang kita lihat di tengah masyarakat
kita saat ini, terutama di saat-saat umrah dan haji. Banyak para jamaah
dalam beberapa kesempatan mereka memfoto diri mereka sendiri sedangn
berdzikir, berdoa mengangkat kedua tangannya, berpose dalam keadaan
khusyuk. Kemudian mereka sebarkan foto tersebut. Lalu dimana letak
keikhlasan?! Mana niat yang baik?! Mana harapan yang hanya menginginkan
perjumpaan dengan Allah?! Kalau ia berfoto sengaja berpose demikian
dengan alas an untuk kenang-kenangan agar dilihat si fulan dan si fulan,
tentu saja ini adalah bentuk berharap pujian manusia.
Dengan demikian, ketidak-tahuan seseorang akan hakikat ikhlas dan
lemahnya niat mereka untuk berharap pertemuan dengan Allah sangatlah
tampak dan menyebar di masyarakat. Oleh karena itu, sangat perlu kita
membaca berulang-ulang hadits
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. Dan setiap orang akan
mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang
hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau karena perempuan yang
ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tujukan.
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى مُحَمَّدِ
ابْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ
فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
[الأحزاب:56] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((مَنْ صَلَّى
عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الأَئِمَّةِ المَهْدِيِيْنَ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ ، وَعُمَرَ
الفَارُوْقِ ، وَعُثْمَانَ ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِي الحَسَنَيْنِ عَلِي،
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَابِعِيْنَ
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَعَنَّا مَعَهُمْ
بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ ،
وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ
وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ . اَللَّهُمَّ آمِنَّا
فِي أَوْطَانِنَا وَأَصْلِحْ أَئِمَّتَنَا وَوُلَاةِ أُمُوْرِنَا
وَاجْعَلْ وُلَايَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ
يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ . اَللَّهُمَّ وَفِّقْ وَلِيَ أَمْرِنَا لِمَا
تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ ، اَللَّهُمَّ وَاجْعَلْ أَعَمَالَهُ كُلَّهَا
لِوَجْهِكَ خَالِصَةً وَلِعِبَادِكَ نَافِعَةً يَا ذَا الجَلَالِ
وَالإِكْرَامِ . وَوَفِّقْنَا أَجْمَعِيْنَ لِلإِخْلَاصِ فِي الأَقْوَالِ
وَالأَعْمَالِ وَالنِّيَاتِ ، وَوَفِّقْنَا يَا ذَا الجَلَالِ
وَالإِكْرَامِ لِمَا تُحِبُّهُ وَتَرْضَاهُ مِنْ سَدِيْدِ الْأَقْوَالِ
وَصَالِحِ الأَعْمَالِ .
اَللَّهُمَّ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ آتِ
نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا زَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ
وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى
وَالسَدَادَ ، اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى وَالتُّقَى
وَالعَفَةَ وَالغِنَى. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَنَا اَلَّذِيْ
هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا ، وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَا اَلَّتِي فِيْهَا
مَعَاشُنَا ، وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا اَلَّتِي إِلَيْهَا مَعَادُنَا ،
وَاجْعَلْ الحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِي كُلِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ
رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ذُنُبَنَا كُلَّهُ دِقَّهُ
وَجِلَّهُ ؛ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ ، سِرَّهُ وَعَلَنَهُ . اَللَّهُمَّ
اغْفِرْ لَنَا مَا قَدَّمْنَا وَمَا أَخَّرْنَا وَمَا أَسْرَرْنَا وَمَا
أَعْلَنَّا وَمَا أَسْرَفْنَا ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنَّا ،
أَنْتَ المُقَدِّمُ وَأَنْتَ المُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ .
اَللَّهُمَّ لَا تُؤَاخِذْنَا بِمَا فَعَلَهُ السُّفَهَاءُ
مِنَّا . وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ .
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ وَأَنْعَمِ عَلَى عَبْدِهِ
وَرَسُوْلِهِ نَبِيِّنَا محمد وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
Sumber : Masjid Wali songgo mengandungsari
penceramah : Abu Munawar Sidiq,S.Pd.I
pada : 26 Agustus 2014
penceramah : Abu Munawar Sidiq,S.Pd.I
pada : 26 Agustus 2014
0 komentar:
Posting Komentar